Friday, November 21, 2008

Kontroversi Syeik Siti Jenar

Sumber : Jalantrabas

SYEKH SITI JENAR (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa yang sangat kontroversial di Jawa, Indonesia. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya, di masyarakat, terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.

SYEKH SITI JENAR (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa yang sangat kontroversial di Jawa, Indonesia. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya, di masyarakat, terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.

Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran - ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti

Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang bertentangan dengan cara hidup Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.

Konsep dan ajaran
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.

Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia dan Tuhan. Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan ;

1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll); 2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu; 3. Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan 4. Ma'rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syech Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun pasca wafatnya sang Syech. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syech Siti Jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan adalah pada tingkatan 'syariat'. Sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki tahap 'hakekat' dan bahkan 'ma'rifat'kepada Allah (kecintaan yang sangat kepada ALLAH). Oleh karenanya, ajaran yang disampaikan oleh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan kata 'SESAT'.

Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa. Hanya saja masing - masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda - beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing - masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.

Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.

Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.

Dan dalam ajarannya, 'Manunggaling Kawula Gusti' adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur'an yang menerangkan tentang penciptaan manusia ("Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shaad; 71-72)"). Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.

Perbedaan penafsiran ayat Al Qur'an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham 'Manunggaling Kawula Gusti'.

Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi.

Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat kerajaan Demak Bintoro. Di sisi kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.

Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Jenar yaitu harus segera menghadap Demak Bintoro. Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi panggilan Sri Narendra Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak. Hingga konon akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Siti Jenar berada.

Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.

Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Siti Jenar. Menurut Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh Siti Jenar. Karena beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.[rujukan?]

Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh para muridnya, serentak keempat muridnya yang benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.

Kisah pada saat pasca kematian
Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar. Dari kisah yang belum diketahui asal-usulnya, hal tersebut dianggap membuat para wali terkejut, dan untuk menampilkan citra tidak baik di depan masyarakat, jenazah Siti Jenar ditukar dengan bangkai anjing kudisan yang dicari sendiri oleh Sunan Kudus di perkampungan pada malam itu juga.

Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.

Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir


UWAIS AL QARNI

Nama Uwais al-Qarani memainkan peranan penting dalam biografi mistikal nabi.

"Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih, mengalir kepadaku dari Yaman!” Demikian sabda Nabi SAW tentang diri Uwais, yang kemudian dalam tradisi tasawuf menjadi contoh bagi mereka yang memasuki tasawuf tanpa dituntun oleh sang guru yang hidup.
Para sufi yang mengaku dirinya telah menempuh jalan tanpa pemba’iatan formal kemudian disebut dengan istilah Uwaisi. Mereka ini dibimbing langsung oleh Allah di jalan tasawuf, atau telah ditasbihkan oleh wali nabi yang misterius, Khidhir. Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa terpencil di dekat Nejed. Tidak diketahui kapan beliau dilahirkan. Ia kilahirkan oleh keluarga yang taat beribadah. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan kecuali dari kedua orang tuanya yang sangat ditaatinya.

Untuk membantu meringankan beban orang tuanya, ia bekerja sebagai penggembala dan pemelihara ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih banyak menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di sekitarnya. Oleh karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang disekitarnya, kecuali para tuan pemilik ternak dan sesamanya, para penggembala. Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang dimiliki hanya yang melekat di tubuhnya. Setiap harinya ia lalui dengan berlapar-lapar ria. Ia hanya makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah memakan makan yang dimasak atau diolah. Oleh karenanya, ia merasakan betul derita orang-orang kecil disekitarnya. Tidak cukup dengan empatinya yang sedemikian, rasa takutnya kepada Allah mendorongnya untuk selalu berdoa kedapa Allah : “Ya Allah, janganlah Engkau menyiksaku, karena ada yang mati karena kelaparan, dan jangan Engaku menyiksaku karena ada yang kedinginan.” Ketaatan dan kecintaannya kepada Allah, juga termanifestasi dalam kecintaannya dan ketaatannya kepada Rasulullah dan kepada kedua orang tuanya, sangat luar biasa.
Di siang hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia asik bermunajat kepada Allah swt. Hati dan lisannya tidak pernah lengah dari berdzikir dan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, meskipun ia sedang bekerja. Ala kulli hal, ia selalu berada bersama Tuhan, dalam pengabdian kepada-Nya. Rasulullah saw menuturkan keistimewaan Uwais di hadapan Allah kepada Umar dan Ali bahwa dihari kiamat nanti, disaat semua orang dibangkitkan kembali, Uwais akan memberikan syafaat kepada sejumlah besar umatnya, sebanyak jumlah domba yang dimiliki Rabbiah dan Mudhar (keduanya dikenal karena mempunyai domba yang banyak). Karena itu, Rasulullah menyarankan kepada mereka berdua agar menemuinya, menyampaikan salam dari Rasulullah, dan meminta keduanya untuk mendoakan keduanya, yang digambarkan bahhwa Uwais memiliki tinggi badan yang sedang dan berambut lebat, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu kiri dan telapak tangannya. Sejak Rasulullah menyarankan keduanya untuk menemuinya, sejak itu pula keduanya selalu penasaran ingin segera bertemu dengan Uwais.

Setiap kali Umar maupun Ali bertemu dengan rombongan orang-orng Yaman, ia selalu berusaha mencaru tahu dimana keberadaan Uwais dari rombongan yang ditemuinya. Namun, keduanya selalu gagal mendapatkan informasi tentang Uwais. Barulah setalah Umar diangkat menjadi khalifah, informasi tentang Uwais keduanya perolih dari serombongan orang Yaman, “Ia tampak gila, tinggal sendiri dan tidak brgaul dengan masyarakat. Ia tidak makan apa yang dimakan oleh kebanyakan orang, dan tidak tampak susan atau senang. Ketika orang-orang tersenyum ia menangis, dan ketika orang-orang menangis ia tersenyum”. Demikian kata rombongan orang-orang Yaman tersebut. Mendengar cerita orang-orang Yaman tersebut, Umar dan Ali segera berangkat menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang-orang Yaman tadi. Akhirnya, keduanya bertemu dengan Uwais di suatu tempat terpencul. Abi Naim al-Afshani menuturkan dialog yang kemudian terjadi antara Umar dan Ali dengan Uwai al-Qarani sebagai berikut: Umar : Apa yang anda kerjakan disini ? Uwais : Saya bekerja sebagai penggembala Umar : Siapa nama Anda? Uwais : Aku adalah hamba Allah Umar : Kita semua adalah hamba Allah, akan tetapi izinkan kami untuk mengetahui anda lebih dekat lagi Uwais : Silahkan saja. Umar dan Ali : Setelah kami perhatikan, andalah orang yang pernah diceritakan oleh Rasulullah SAW kepada kami. Doakan kami dan berilah kami nasehat agar kami beroleh kebahagiaan dunia dan di akherat kelak. Uwais : Saya tidak pernah mendoakan seseorang secara khusus.

Setiap hari saya selalu berdoa untuk seluruh umat Islam. Lantas siapa sebenarnya anda berdua. Ali : Beliau adalah Umar bin Khattab, Amirul Mu’minin, dan saya adalah Ali bin Abi Thalib. Kami berdua disuruh oleh Rasulullah SAW untuk menemui anda dan menyampaikan salam beliau untuk anda. Umar : Berilah kami nasehat wahai hamba Allah Uwais : Carilah rahmat Allah dengan jalan ta’at dan penuh harap dan bertawaqal kepada Allah. Umar :Terimakasih atas nasehat anda yang sangat berharga ini. Sebagai tanda terima kasih kami, kami berharap anda mau menerima seperangkat pakaian dan uang untuk anda pakai. Uwais : Terimakasih wahai Amirul mu’minin. Saya sama sekali tidak bermaksud menolak pemberian tuan, tetapi saya tidak membutuhkan apa yang anda berikan itu. Upah yang saya terima adalah 4 dirham itu sudah lebih dari cukup. Lebihnya saya berikan kepada ibuku. Setiap hari saya cukup makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah makan makan yang di masak. Kurasa hidupku tidak akan sampai petang hari dan kalau petang, kurasa tidak akan sampai pada pagi hari. Hatiku selalu mengingat Allah dan sangat kecewa bila sampai tidak mengingat-Nya. Ketika orang-orang Qaran mulai mengetahui keduduka spiritualnya yang demikian tinggi di mata Rasulullah saw, mereka kemudian berusaha untuk menemui dan memuliakannya. Akan tetapi, Uwais yang sehari-harinya hidup penuh dengan kesunyian ini, diam-diam meninggalkan mereka dan pergi menuju Kufah, melanjutkan hidupnya yang sendiri. Ia memilih untuk hidup dalam kesunyian, hati terbatas untuk yang selain Dia. Tentu saja, “kesunyian” disini tidak identik dengan kesendirian (pengasingan diri).

Hakekat kesendirian ini terletak pada kecintaanya kepada Tuhan. Siapa yang mencintai Tuhan, tidak akan terganggu oleh apapun, meskipun ia hidup ditengah-tengah keramaian. Alaisa Allah-u bi Kafin abdahu? Setelah seorang sufi bernama Harim bin Hayyam berusaha untuk mencari Uwais setelah tadak menemukannya di Qaran. Kemudian ia menuju Basrah. Di tengah perjalanan menuju Basrah, inilah, ia menemukan Uwais yang mengenakan jubah berbulu domba sedang berwudhu di tepi sungai Eufrat. Begitu Uwais beranjak naik menuju tepian sungai sambil merapikan jenggotnya. Harim mendekat dan memberi salam kepadanya. Uwais : menjawab: “ Wa alaikum salam”, wahai Harim bin Hayyan. Harim terkejut ketika Uwais menyebut namanya. “Bagaimana engakau mengetahui nama saya Harim bin Hayyan?’ tanya Harim. “Roku telah mengenal rohmmu”, demikian jawan Uwais. Uwais : kemudian menasehati Harim untuk selalu menjaga hatinya. Dalam arti mengarahkannya untuk selalu dalam ketaatan kepada-Nya melalui mujahadah, atau mengarahkan diri “dirinya “ untuk mendengar dan mentaati kata hatinya. Meski Uwais menjalani hidupnya dalam kesendirian dan kesunyian, tetapi pada saat-saat tertentu ia ikut berpartisipasi dalam kegiatan jihad untuk membela dan mempertahankan agama Allah. Ketika terjadi perang Shiffin antara golongan Ali melawan Muawiyah, Uwais berdiri di golongan Ali. Saat orang islam membebaskan Romawi, Uwais ikut dalam barisan tentara Islam. Saat kembali dari pembebasan tersebut, Uwais terserang penyakit dan meninggal saat itu juga. (t.39 H). Demikianlah sekelumit tentang Uais al-Qarani, kemudian hri namanya banyak di puji oleh masyarakat. Yunus Emre misalnya memujinya dalam satu sajak syairnya : Kawan tercinta kekasih Allah; Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani. Dia tidak berbohong ; dan tidak makan makan haram Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani Di pagi hari ia bangun dan mulai bekerja, Dia membaca dalam dzikir seribu satu malam Allah; Dengan kata Allahu Akbar dia menghela unta-unta Di tanah Yaman, Uwais alQarani Negeri Yaman “negeri di sebelah kanan “, negeri asal angin sepoi-sepoi selatan yang dinamakan nafas ar-rahman, Nafas dari Yang Maha Pengasih, yang mencapai Nabi dengan membawa bau harum dari ketaatan Uwais al-Qarani, sebagaimana angin sepoi-sepoi sebelumnya yang mendatangkan keharuman yang menyembuhkan dari kemeja Yusuf kepada ayahnya yang buta. Ya’kub (QS, 12: 95), telah menjadi simbul dari Timur yang penuh dengan cahaya, tempat dimana cahaya muncul, yang dalam karya Suhrawadi menggambarkan rumah keruhanian yang sejati. “Negeri di sebelah kanan “ itu adalah tanah air Uwais al-Qarani yanag memeluk Islam tanpa pernah betemu dengan nabi.

Hikmah Yamaniyyah, “Kebijaksanaan Yaman,” dan Hikmah Yamaniyyah,”filosofi Yanani”, bertentangan, sebagaimana makrifat intuitif dan pendekatan intelektual, sebagaimana Timur dan Barat. Doa dan Dzikir Satu hal yang perlu digarisbawahi dari diri Uwais al-Qarani, kemudian menjadi landasan dalam tareqat-tareqat sufi, selain baktinya yang luar biasa terhadap kedua orang tuanya dan sikap zuhudnya, adalah doa dan dzikirnya. Uwais tidak pernah berdoa khusus untuk seseorang, tetapi selalu berdoa untuk seluruh umat kaum muslim. Uwais juga tidak pernah lengah dalam berdzikir meskipun sedang sibuk bekerja, mengawasi dan menggiring ternak-ternaknya. Doa dan dzikir bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hakekatnya adalah satu. Sebab, jelas doa adalah salah satu bentuk dari dzikir, dan dzikir kepada–Ku hingga ia tidak sempat bermohon (sesuatu) kepada-Ku, maka Aku akan mengaruniakan kepadanya sesuatu yang terbaik dari yang diminta orang yang berdoa kepada-Ku”. Uwais selalu bedoa untuk seluruh muslimin. Doa untuk kaum muslim adalah salah satu bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap “urusan kaum muslim”. Rasulullah saw. Pernah memperingatkan dengan keras: Siapa yang tidap peduli dengan urusan kaum muslim, maka ia tidak termasuk umatku.” Dalam hal ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa permohonan yang paling cepat dikabulkan adalah doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan dan mendahulukan doa untuk selain dirinya. Dan Uwais lebih memilih untuk medoakan seluruh saudaranya seiman. Suatu ketika Hasan bin Ali terbangun tengah malam dan melihat ibunya, Fatimah az-Zahra, sedang khusu’ berdoa. Hasan yang pensasaran ingin tahu apa yang diminta ibunya dalam doanya berusaha untuk menguping. Namun Hasan agak sedikit kecewa, karena dari awal hingga akhir doanya, ibunya, hanya meminta pengampunan dan kebahagian hidup untuk seluruh kaum muslimin di dunia dan di akhirat kelak. Selesai berdoa, segera Hasan bertanya kepada ibunya perihal doanya yang sama sekali tidak menyisakan doanya untuk dirinya sendiri. Ibunya tersenyum, lalu menjawab bahwa apapun yang kita panjatkan untuk kebahagiaan hidup kaum muslim, hakekatnya, permohonan itu akan kembali kepada kita. Sebab para malaikat yang menyaksikan doa tersebut akan berkata “Semoga Allah mengabulkanmu dua kali lipat.” Dari prinsip tersebut, para sufi kemudian menarik suatu prinsip yang lebih umum yang padanya bertumpu seluruh rahasia kebahagiaan. Apa yang kita cari dalam kehidupan ini, harus kita berikan kepad orang lain. Jika kebajikan yang kita cari, berikanlah; jika kebaikan, berikanlah; jika pelayanan, berikanlah. Bagi para sufi, dunia adalah kubah, dan perilaku seseorang adalah gema dari pelaku yang lain. Secuil apapun kebaikan yang kita lakukan, ia akan kembali. Jika bukan dari seseorang, ia akan datang dari orang lain. Itulah gemanya. Kita tidak mengetahui dari mana sisi kebaikan itu akan datang, tetapi ia akan datang beratus kali lipat dibanding yang kita berikan. Demikianlah, berdoa untuk kaum mulim akan bergema di dalam diri yang tentu saja akan berdampak besar dan positif dalam membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan spiritual seseorang. Paling tidak, doa ini akan memupus ego di dalam diri yang merupakan musuh terbesar, juga sekalihgus akan melahirkan dan menanamkan komitmen dalam diri “rasa Cinta”dan “prasangka baik”terhadap mereka, yang merupakan pilar lain dari ajaran sufi, sebagai manifestasi cinta dan pengabdian kepada Allah swt. Uwais tidak pernah lengah untuk berdzikir, mengingat dan mnyebut-nyebut nama Allah meskipun ia sedang sibuk mengurus binatang ternaknya. Dzikir dalam pengertiannya, yang umum mencakup ucapan segala macam ketaatan kepada Allah swt.

Namun yang dilakukan Uwais disini adlah berdzikir dengan menyebut nama-nama Allah dan meningat Allah, juga termasuk sifat-sifat Allah. Ibn Qayyim al-Jauziyyah ketika memaparkan berbagai macam faedah dzikir dalm kitabnya “al-wabil ash-shayyab min al-kalim at-thayyib” menyebutkan bahwa yang paling utama pada setiap orang yang bramal adalah yang paling banyak berdzikir kepad Allah swt. Ahli shaum yang paling utama adalah yang paling banyak dzikirnya; pemberi sedekah yang paling baik adalah yang paling banyak dzikirnya; ahli haji yang paling utama adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah swt; dan seterusnya, yang mencakup segala aktifitas dan keadaan. Syaikh Alawi dalam “al-Qawl al-Mu’tamad,” menyebutkan bahwa mulianya suatu nama adalah kerena kemuliaan pemilik nama itu, sebeb nama itu mengandung kesan sipemiliknya dalam lipat tersembunyi esensi rahasianya dan maknanya. Berdzikir dan mengulang-ulang Asma Allah, Sang Pemilik kemuliaan, dengan demikian, tak diragukan lagi akan memberikan sugesti, efek, dan pengaruh yang sangat besar. Al-Ghazali menyatakan bahwa yang diperoleh seorang hamba dari nama Allah adalah ta’alluh (penuhanan), yang berarti bahwa hati dan niatnya tenggelan dalam Tuhan, sehingga yang dilihat-Nya hanyalah Dia. Dan hal ini, dalam pandangan Ibn Arabi, berarti sang hamba tersebut menyerap nama Allah, yang kemudian merubahnya dengan ontologis. Demikianlah, setiap kali kita menyerap asma Allah lewat dzikir kepada-Nya, esensi kemanusiaan kita berubah. Kita mengalami tranformasi. Yanag apada akhirnya akan membuahkan akhlak al-karimah yang merupakan tujuan pengutusan rasulullah Muhammad saw. Dilihat dari sudut panang psikologis sufistik, pertama-tama dzikir akan memberi kesan pada ruh seseorang, membentuknya membangun berbagai kualitas kebaikan, dan kekuatan inspirasi yang disugestikan oleh nama-nama itu.
Dan mekanisme batiniah seseorang menjadi semakin hidup dari pengulangan dzikir itu, yang kemudian mekanisme ini berkembang pada pengulangan nama-nama secara otomatis. Jadi jika seseorang telah mengilang dzikirnya selama satu jam, misalnya, maka sepanjang siang dan malam dzikir tersebut akan terus berlanjut terulang, karena jiwanya mengulangi terus menerus. Pengulangan dzikir ini, juga akan terefleksi pada ruh semesta, dan mekanisme universal kemudian mengulanginya secara otomatis. Dengan kata lain, apa yang didzikirkan manusia dengan menyebutnya berulang-ulang. Tuhan kemudian mulai mengulanginya, hingga termaterialisasi dan menjadi suatu realita di semua tingkat eksistensi. Wallahu a’lam bis-shawab.

Sumber : Dari berbagai Sumber

Tingkatan Wali

Syaikhul Akbar Ibnu Araby dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut :


Wali Aqthab atau Wali Quthub
Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.


Wali Aimmah
Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bernama Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bernama Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.


Wali Autad
Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kakbah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Haiyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdu Murid.


Wali Abdal
Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab Futuhatul Makkiyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu, mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.
Pada tahun 586 di Spanyol, Ibnu Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Abdul Madjid bin Salamah sahabat Ibnu Arabi pernah bertemu Wali Abdal bernama Mu’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.


Wali Nuqoba’
Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqoba’ melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.


Wali Nujaba’
Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.


Wali Hawariyyun
Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair bin Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.


Wali Rajabiyyun
Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.

Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.

Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.


Wali Khatam
Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd,saw.


SYEKH ABDUL QODIR AL JAELANI


Syekh Abdur Qadir Jailani adalah adalah imam yang zuhud dari kalangan sufi. Beliau lahir tahun 470 H di Baghdad dan mendirikan tariqat al-Qadiriyah. Diantara tulisan beliau antara lain kitab Al-Fathu Ar-Rabbani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan Futuh Al-Ghaib. Tahun wafat beliau tercatat tahun 561 H bertepatan dengan 1166 M. Beliau adalah seorang yang shalih . Bila dirunut ke atas dari nasabnya, beliau masih keturunan dari Ali bin Abi Talib. Nama lengkap beliau adalah Abu Shalih Sayidi Abdul Qodir bin Musa bin Abdullah bin Yahya Az-zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahdhi bin Hasan al-Mutsana bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.

Jumlah karomah yang dimiliki oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani banyak sekali:
Syaikh Abil AbbasAhmad ibn Muhammadd ibn Ahmad al-Urasyi al-Jily:
Pada suatu hari, aku telah menghadiri majlis asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani berserta
murid-muridnya yang lain. Tiba-tiba, muncul seekor ular besar di pangkuan asy-Syaikh. Maka orang ramai yang hadir di majlis itu pun berlari tunggang langgang, ketakutan. Tetapi asy-Syaikh al-Jilani hanya duduk dengan tenang saja. Kemudian ular itu pun masuk ke dalam baju asy-Syaikh dan telah merayap-rayap di badannya. Setelah itu, ular
itu telah naik pula ke lehernya. Namun, asy-Syaikh masih tetap tenang dan tidak berubah keadaan duduknya. Setelah beberapa waktu berlalu, turunlah ular itu dari badan asy-Syaikh dan ia telah seperti bicara dengan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani . Setelah itu, ular itu pun ghaib. Kami pun bertanya kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani tentang apa yang telah dipertuturkan oleh ular itu. Menurut beliau ular itu telah berkata bahwa dia telah menguji wali-wali Allah yang lain, tetapi dia tidak pernah bertemu dengan
seorang pun yang setenang dan sehebat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani .
Pada suatu hari, ketika asy-Syaikh sedang mengajar murid-muridnya di dalam sebuah majlis, seekor burung telah terbang di udara di atas majlis itu sambil mengeluarkan satu bunyi yang telah mengganggu majlis itu. Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun berkata, “Wahai angin, ambil kepala burung itu.” Seketika itu juga, burung itu telah
jatuh ke atas majlis itu, dalam keadaan kepalanya telah terputus dari badannya.
Setelah melihat keadaan burung itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun turun dari kursi tingginya dan mengambil badan burung itu, lalu disambungkan kepala burung itu ke badannya. Kemudian asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah berkata, “Bismillaahirrahmaanirrahim.” Dengan serta-merta burung itu telah hidup kembali dan
terus terbang dari tangan asy-Syaikh.
Maka takjublah para hadirin di majlis itu karena melihat kebesaran Allah yang telah ditunjukkanNya melalui tangan asy-Syaikh.
Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, di dalam tahun 537 Hijrah,seorang lelaki dari kota Baghdad (dikatakan oleh setengah perawi bahawa lelaki itu bernama Abu Sa‘id ‘Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdadi) telah datang bertemu dengan asy-Syaikh Jilani, berkata, bahwa dia mempunyai seorang anak dara cantik berumur enam belas tahun bernama Fatimah. Anak daranya itu telah diculik (diterbangkan) dari atas anjung rumahnya oleh
seorang jin. Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menyuruh lelaki itu pergi pada malam hari itu, ke suatu tempat bekas rumah roboh, di satu kawasan lama di kota Baghdad bernama al-Karkh.
“Carilah bonggol yang kelima, dan duduklah di situ. Kemudian, gariskan satu bulatan sekelilingmu di atas tanah. Kala engkau membuat garisan, ucapkanlah “Bismillah, dan di atas niat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani ” Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh beberapa kumpulan jin,
dengan berbagai-bagai rupa dan bentuk. Janganlah engkau takut. Apabila waktu hampir terbit fajar, akan datang pula raja jin dengan segala angkatannya yang besar. Dia akan bertanya hajatmu. Katakan kepadanya yang aku telah menyuruh engkau datang bertemu dengannya. Kemudian ceritakanlah kepadanya tentang kejadian yang telah menimpa anak
perempuanmu itu.”
Lelaki itu pun pergi ke tempat itu dan melaksanakan arahan asy-Syaikh Abdul Qodir
Al-Jilani itu. Beberapa waktu kemudian, datanglah jin-jin yang coba menakut-nakutkan lelaki itu, tetapi jin-jin itu tidak berkuasa untuk melintasi garis bulatan itu. Jin-jin itu telah datang bergilir-gilir, yakni satu kumpulan selepas satu kumpulan. Dan akhirnya, Datanglah raja jin yang sedang menunggang seekor kuda dan telah disertai oleh satu angkatan yang besar dan hebat rupanya.
Raja jin itu telah memberhentikan kudanya di luar garis bulatan itu dan telah bertanya kepada lelaki itu, “Wahai manusia, apakah hajatmu?”Lelaki itu telah menjawab, “Aku telah disuruh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani untuk bertemu denganmu.”
Begitu mendengar nama asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani diucapkan oleh lelaki itu, raja jin itu telah turun dari kudanya dan terus mengucup bumi. Kemudian raja jin itu telah duduk di atas bumi, disertai dengan seluruh anggota rombongannya. Sesudah itu, raja jin itu telah bertanyakan masalah lelaki itu. Lelaki itu pun menceritakan kisah anak daranya yang telah diculik oleh seorang jin. Setelah mendengar cerita lelaki itu, raja jin itu pun memerintahkan agar dicari si jin yang bersalah itu. Beberapa waktu kemudian, telah
dibawa ke hadapan raja jin itu, seorang jin lelaki dari negara Cina bersama-sama dengan anak dara manusia yang telah diculiknya.Raja jin itu telah bertanya, “Kenapakah engkau
sambar anak dara manusia ini? Tidakkah engkau tahu yang dia ini berada di bawah naungan al-Quthb ?”
Jin lelaki dari negara Cina itu telah mengatakan yang dia telah jatuh berahi dengan anak dara manusia itu. Raja jin itu pula telah memerintahkan agar dipulangkan perawan itu kepada bapanya, dan jin dari negara Cina itu pula telah dikenakan hukuman pancung kepala. Lelaki itu pun mengatakan rasa takjubnya dengan segala perbuatan raja jin itu, yang sangat patuh kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani.
Raja jin itu berkata pula, “Sudah tentu, karena asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani boleh melihat dari rumahnya semua kelakuan jin-jin yang jahat.
Dan mereka semua sedang berada di sejauh-jauh tempat di atas bumi, karena telah lari dari sebab kehebatannya. Allah Ta’ala telah menjadikan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bukan saja al-Qutb bagi umat manusia, bahkan juga ke atas seluruh bangsa jin.”
Telah bercerita asy-Syaikh Abi ‘Umar ‘Uthman dan asy-Syaikh Abu Muhammad ‘Abdul Haqq al-Huraimy: Pada 3 hari bulan Safar, kami berada di sisi asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani Pada waktu itu, asy-Syaikh sedang mengambil wudu dan memakai sepasang terompah. Setelah selesai menunaikan solat dua rakaat, dia telah bertempik dengan
tiba-tiba, dan telah melemparkan salah satu dari terompah-terompah itu dengan sekuat tenaga sampai tak nampak lagi oleh mata. Selepas itu, dia telah bertempik sekali lagi, lalu melemparkan terompah yang satu lagi. Kami yang berada di situ, telah melihat dengan ketakjubannya, tetapi tidak ada seorang pun yang telah berani menanyakan maksud
semua itu. Dua puluh tiga hari kemudian, sebuah kafilah telah datang untuk menziarahi asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilany. Mereka (yakni para anggota kafilah itu) telah membawa hadiah-hadiah untuknya, termasuk baju, emas dan perak. Dan yang anehnya, termasuk juga sepasang terompah. Apabila kami amat-amati, kami lihat terompah-terompah itu adalah terompah-terompah yang pernah dipakai oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pada satu masa dahulu. Kami pun bertanya kepada ahli-ahli kafilah
itu, dari manakah datangnya sepasang terompah itu. Inilah cerita mereka:
Pada 3 haribulan Safar yang lalu, ketika kami sedang di dalam satu perjalanan, kami telah
diserang oleh satu kumpulan perompak. Mereka telah merampas kesemua barang-barang kami dan telah membawa barang-barang yang mereka rampas itu ke satu lembah untuk dibagi-bagikan di antara mereka. Kami pun berbincang sesama sendiri dan telah
mencapai satu keputusan. Kami lalu menyeru asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani agar menolong kami. Kami juga telah bernazar apabila kami sudah selamat, kami akan memberinya beberapa hadiah. Tiba-tiba, kami terdengar satu jeritan yang amat
kuat, sehingga menggegarkan lembah itu dan kami lihat di udara ada satu benda yang sedang melayang dengan sangat laju sekali. Beberapa waktu kemudian, terdengar satu lagi bunyi yang sama dan kami lihat satu lagi benda seumpama tadi yang sedang melayang ke arah yang sama. Selepas itu, kami telah melihat perompak-perompak
itu berlari lintang-pukang dari tempat mereka sedang membagi-bagikan harta rampasan itu dan telah meminta kami mengambil balik harta kami,karena mereka telah ditimpa satu kecelakaan. Kami pun pergi ke tempat itu. Kami lihat kedua orang pemimpin perompak itu telah mati. Di sisi mereka pula, ada sepasang terompah. Inilah terompah-terompah itu.
Telah bercerita asy-Syaikh Abduh Hamad ibn Hammam:
Pada mulanya aku memang tidak suka kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Walaupun aku merupakan seorang saudagar yang paling kaya di kota Baghdad waktu itu, aku tidak pernah merasa tenteram ataupun berpuas hati.Pada suatu hari, aku telah pergi menunaikan solat Jum’at. Ketika itu, aku tidak mempercayai tentang cerita-cerita karomah yang dikaitkan pada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Sesampainya aku
di masjid itu, aku dapati beliau telah ramai dengan jamaah. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, dan kudapati betul-betul di hadapan mimbar.
Di kala itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani baru saja mulai untuk khutbah Jumaat. Ada beberapa perkara yang disentuh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang telah menyinggung perasaanku.Tiba-tiba, aku terasa hendak buang air besar. Untuk keluar dari masjid itu memang sukar dan agak mustahil. Dan aku dihantui perasaan gelisah dan
malu, takut-takut aku buang air besar di sana di depan orang banyak. Dan kemarahanku terhadap asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun bertambah dan memuncak.
Pada saat itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah turun dari atas mimbar itu dan telah berdiri di hadapanku. Sambil beliau terus memberikan khutbah, beliau telah menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku sedang berada di satu tempat yang lain, yakni di satu lembah hijau yang sangat indah. Aku lihat sebuah anak sungai sedang mengalir perlahan di situ dan keadaan sekelilingnya sunyi sepi, tanpa kehadiran seorang manusia. Aku pergi membuang air besar. Setelah selesai, aku mengambil wudlu. Apabila aku sedang berniat untuk pergi bersolat, dan tiba-tiba diriku telah berada ditempat semula di bawah jubah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Dia telah mengangkat jubahnya dan
menaiki kembali tangga mimbar itu.
Aku sungguh-sungguh merasa terkejut. Bukan karena perutku sudah merasa lega, tetapi juga keadaan hatiku. Segala perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan-perasaan jahat yang lain, semuanya telah hilang.
Selepas sembahyang Jum’at berakhir, aku pun pulang ke rumah. Di dalam perjalanan, aku menyadari bahwa kunci rumahku telah hilang. Dan aku kembali ke masjid untuk mencarinya. Begitu lama aku mencari, tetapi tidak aku temukan, terpaksa aku menyuruh
tukang kunci untuk membuat kunci yang baru.Pada keesokan harinya, aku telah meninggalkan Baghdad dengan rombonganku karena urusan perniagaan. Tiga hari kemudian, kami telah melewati satu lembah yang sangat indah.
Seolah-olah ada satu kuasa ajaib yang telah menarikku untuk pergi ke sebuah anak sungai. Barulah aku teringat bahwa aku pernah pergi ke sana untuk buang air besar, beberapa hari sebelum itu. Aku mandi di anak sungai itu. Ketika aku sedang mengambil jubahku, aku telah temukan kembali kunciku, yang rupa-rupanya telah tertinggal dan telah tersangkut pada sebatang dahan di situ.
Setelah aku sampai di Baghdad , aku menemui asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani dan menjadi anak muridnya.
Telah bercerita asy-Syaikh ‘Adi ibn Musafir al-Hakkar:
Aku pernah berada di antara ribuan hadirin yang telah berkumpul untuk mendengar pengajian asy-Syaikh. Ketika asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani sedang berbicara, tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Beberapa orang pun berlari meninggalkan tempat itu. Langit kala itu sedang diliputi awan hitam yang menandakan hujan akan terus turun dengan lebat. Aku melihat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani mendongak ke langit dan
mengangkat tangannya serta berdoa, “Ya Robbi! Aku telah mengumpulkan manusia karenaMu, adakah kini Engkau akan menghalau mereka daripadaku?”
Setelah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berdoa, hujan pun berhenti. Tidak setitik hujan yang jatuh ke atas kami, pada hal di sekeliling kami hujan masih terus turun dengan deras.Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, isteri-isteri asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah bertemu dengannya dan telah berkata, “Wahai suami kami yang terhormat, anak lelaki kecil kita telah meninggal dunia. Namun kami tidak melihat setitik air mata pun yang mengalir dari mata kekanda dan tidak pula kekanda menunjukkan tanda kesedihan. Tidakkah kekanda
menyimpan rasa belas kasihan terhadap anak lelaki kita, yang merupakan sebagian darah daging kekanda sendiri? Kami semua sedang dirundung kesedihan,namun kekanda masih juga meneruskan pekerjaan biasa kekanda, seolah-olah tiada sesuatu pun yang telah berlaku. Kekanda adalah pemimpin dan pelindung kami di dunia dan di akhirat. Tetapi
jika hati kekanda telah menjadi keras sehingga tiada lagi menyimpan rasa belas kasihan, bagaimana kami dapat bergantung kepada kekanda di Hari Pembalasan kelak?”
Maka berkatalah asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Wahai isteri-isteriku yang tercinta! Janganlah kamu semua menyangka hatiku ini keras. Aku menyimpan rasa belas kasihan di hatiku terhadap seluruh makhluk, sampai terhadap orang-orang kafir dan juga terhadap anjing-anjing yang menggigitku. Aku berdoa kepada Allah agar anjing-anjing itu
berhenti menggigit, bukanlah karena aku takut digigit, tetapi aku takut nanti manusia lain akan melontar anjing-anjing itu dengan batu. Tidakkah kamu mengetahui bahwa aku mewarisi sifat belas kasihan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diutus Allah sebagai rahmat untuk sekalian alam?”
Maka wanita-wanita itu telah berkata pula, “Kalau benar kekanda mempunyai rasa belas kasihan terhadap seluruh makhluk Allah, sampai kepada anjing-anjing yang menggigit kekanda, kenapa kekanda tidak menunjukkan rasa sedih atas kehilangan anak lelaki kita yang telah meninggal ini?”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menjawab, “Wahai isteri-isteriku yang sedang berdukacita, kamu semua menangis karena kamu semua merasa telah berpisah daripada anak lelaki kita yang kamu semua sayangi. Tetapi aku sentiasa bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Kamu semua telah melihat anak lelaki kita di dalam satu ilusi yang disebut dunia. Kini, dia telah meninggalkannya lalu berpindah ke satu tempat yang lain. Allah telah berfirman ( Surat al-adid, ayat 20):
“dan tiadaklah kehidupan dunia ini melainkan hanyalah satu ilusi saja.” Memang dunia ini adalah satu ilusi, untuk mereka yang sedang terlena. Tetapi aku tidak terlena – aku melihat dan waspada. Aku telah melihat anak lelaki kita sedang berada di dalam bulatan masa, dan kini dia telah keluar darinya. Namun aku masih dapat melihatnya. Dia kini berada di sisiku. Dia sedang bermain-main di sekelilingku, sebagaimana yang pernah dia lakukan pada masa dahulu. Sesungguhnya, jika seseorang itu dapat melihat Kebenaran melalui mata hatinya, sama dengan yang dilihatnya masih hidup ataupun sudah mati, maka Kebenaran itu tetap tidak akan hilang.”
Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat: Pada suatu hari, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berjalan-jalan dengan beberapa muridnya di padang pasir. Waktu itu hari sangat panas, dan mereka sedang berpuasa. Oleh itu mereka merasa letih dan dahaga.
Tiba-tiba, sekumpulan awan muncul, yang melindungi mereka dari panas terik matahari. Setelah itu, sebatang pohon kurma dan sebuah kolam air muncul di hadapan mereka. Mereka telah terpesona. Kemudian satu cahaya besar yang berkilauan, telah muncul dari celah awan di hadapan mereka dan kedengaranlah satu suara dari dalamnya yang telah
berkata, “Wahai ‘Abdul Qadir, akulah Tuhanmu. Makan dan minumlah, karena pada hari ini, telah aku halalkan untuk engkau apa yang telah aku haramkan untuk orang-orang lain.” Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun melihat ke arah cahaya itu dan berkata, “Aku berlindung dengan Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Tiba-tiba, cahaya, pohon kurma dan kolam itu semuanya hilang dari pandangan mata. Maka kelihatanlah Iblis di hadapan mereka dengan bentuk rupanya yang asli.
Iblis bertanya, “Bagaimanakah engkau dapat mengetahui itu sebenarnya adalah aku?”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah menjawab, “Syariat itu sudah sempurna, dan tidak akan berubah sampai Hari Kiamat. Allah tidak akan mengubah yang haram kepada yang halal, walaupun untuk orang-orang yang menjadi pilihanNya (waliNya).”
Maka Iblis pun berkata lagi untuk menguji asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Aku telah mampu menipu 70 kaum daripada golongan as-salikin (yakni orang-orang yang menempuh jalan kerohanian) dengan cara ini. Ilmu yang engkau miliki lebih luas
daripada ilmu mereka. Apakah hanya ini jumlah pengikutmu? Sudah sepatutnya semua penduduk bumi ini menjadi pengikutmu, karena ilmumu menyamai ilmu para nabi.”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menjawab, “Aku berlindung dengan Allah Yang Maha Mendengar, Yang Maha Mengetahui, daripada engkau. Bukanlah karena ilmuku aku terselamat, tetapi karena rahmat daripada Allah, Pengatur sekelian alam.”

SYEKH YUSUF AL MAKASARI


Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba'alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.

Syekh Yusuf sejak kecil diajar serta dididik secara Islam. Ia diajar mengaji Alquran oleh guru bernama Daeng ri Tasammang sampai tamat. Di usianya ke-15, Syekh Yusuf mencari ilmu di tempat lain, mengunjungi ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaluddin al-Aidit, yang mendirikan pengajian pada tahun 1640.


Syekh Yusuf meninggalkan negerinya, Gowa, menuju pusat Islam di Mekah pada tanggal 22 September 1644 dalam usia 18 tahun. Ia sempat singgah di Banten dan sempat belajar pada seorang guru di Banten. Saat ia mengenal ulama masyhur di Aceh, Syekh Nuruddin ar Raniri, melalui karangan-karangannya, pergilah ia ke Aceh dan menemuinya.

Setelah menerima ijazah tarekat Qadiriyah dari Syekh Nuruddin, Syekh Yusuf berusaha ke Timur Tengah. Beliau ke Arab Saudi melalui Srilanka.

Di Arab Saudi, mula-mula Syekh Yusuf mengunjungi negeri Yaman, berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi. Ia dianugerahi ijazah tarekat Naqsyabandi dari gurunya ini.

Perjalanan Syekh Yusuf dilanjutkan ke Zubaid, masih di negeri Yaman, menemui Syekh Maulana Sayed Ali. Dari gurunya ini Syekh Yusuf mendapatkan ijazah tarekat Al-Baalawiyah. Setelah tiba musim haji, beliau ke Mekah menunaikan ibadah haji.

Dilanjutkan ke Madinah, berguru pada syekh terkenal masa itu yaitu Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani. Dari Syekh ini diterimanya ijazah tarekat Syattariyah. Belum juga puas dengan ilmu yang didapat, Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu Al Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi. Gurunya ini memberikan ijazah tarekat Khalwatiyah setelah dilihat kemajuan amal syariat dan amal Hakikat yang dialami oleh Syekh Yusuf.

Melihat jenis-jenis alirannya, diperoleh kesan bahwa Syekh Yusuf memiliki pengetahuan yang tinggi, meluas, dan mendalam. Mungkin bobot ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa ungkapan (dalam bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).

Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam pengajarannya kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi.

Ajaran Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.

Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan.

Dengan demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Mahaesa sebagai pusat orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup itu sendiri.

Sumber : Dari berbagai Sumber

Thursday, November 20, 2008

Penelusuran Tarekat Sammaniyah di Kalimantan oleh Syekh al-Banjari

Di Indonesia tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan serta mempunyai pengaruh yang dalam di Palembang dan daerah lainnya di Sumatera. Demikian pula di Jakarta sangat besar pengaruhnya di kalangan penduduk dan daerah-daerah sekitar ibukota.

Ulama yang dianggap cikal bakal dan berjasa besar membawa serta mengembangkan tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan menurut asumsi penulis ada tiga orang.
Ulama yang pertama adalah Syekh Muhammad Arsyad bin ‘Abdullah al-Banjariy...”

Ditulis oleh Zulfajamalie dalam Melacak jejak Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar

Menurut bahasa tarekat berarti jalan menuju kebenaran, ilmu kebajikan agama, persaudaraan dalam kebaktian pada kerohanian.5 Abu Bakar Atjeh menyatakan bahwa tarekat adalah jalan, petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat serta tabi’in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai-berantai.6 Di samping itu pula lebih jauh menurut Usman Said tarekat dapat diartikan sebagai suatu metode praktis untuk menuntun (membimbing) seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan dan tindakan, terkendali terus-menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya.7

Menurut keyakinan sufi, seseorang tidak akan sampai kepada hakikat tujuan ibadah, sebelum menempuh atau melaksanakan jalan ke arah itu. Tarekat adalah jalan, cara, metode dan sistem menuju kepada Tuhan. Menurut Sjechul Hadi Permono kata tarekat mengalami perkembangan, sehingga mempunyai dua pengertian. Pertama, tinjauan pada abad IX dan X M tarekat berarti cara pendidikan, akhlak, dan jiwa bagi mereka yang berminat menempuh hidup sufi. Pengertian ini lebih mendekati suatu teori, suatu pendidikan khusus, karena pada tarekat pendidikan akhlak batin dengan melalui tingkatan-tingkatan pendidikan tertentu (maqamat dan ahwal). Namun walau demikian ia tetap umum, karena belum merupakan suatu sekte tertentu, belum merupakan suatu kekeluargaan, mu’asyarah tersendiri. Kedua, sesudah abad XI M tarekat tersebut mempunyai pengertian sebagai suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan riya«ah-riya«ah rohani dan jasmani bagi sekelompok orang (murid).8

Dalam pengertian ini tarekat sudah merupakan suatu kekeluargaan, mu’asyarah tersendiri yang didirikan menurut aturan-aturan dan perjanjian-perjanjian tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi di atas jelaslah bahwa pada prinsipnya tarekat adalah metode, cara, sistem tingkah laku (sirah) atau sul­k yang khusus dilakukan oleh orang-orang sufi yang berjalan menuju kepada Allah, dengan menempuh secara sungguh-sungguh maqamat (stasiun-stasiun) dan mendaki ahwal (keadaan).
Sementara itu nama-nama tarekat dimaksud biasanya disandarkan pada nama para pendirinya. Di Indonesia tarekat yang dianggap sahih dan dapat diterima dikelompokkan sebagai tarekat mu’tabarah. Di antaranya adalah tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani (1077-1166M), tarekat Rifaiyah oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas (wafat 1106 M), tarekat Naqsabandiyah oleh Muhammad bin Baha’uddin al-Uwaisiy al-Bukhariy (717-791 H), tarekat Sammaniyah oleh Syekh Muhammad Samman al-Madaniy (1718-1775 M), tarekat Khalwatiyah oleh Zahiruddin (wafat 1397 M), tarekat al-Haddad oleh Sayyid Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad, tarekat Khalidiyah oleh Syekh Sulaiman Zuhdi al-Khalidiy, dan lain-lain. Di antara tarekat ini yang cukup pesat perkembangannya di Tanah Banjar (Kalimantan Selatan) adalah tarekat Sammaniyah didirikan oleh Muhammad ‘Abdul Karim Samman al-Madaniy.

Syekh Samman adalah seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah. Dia mulanya dibaiat menjadi pengikut berbagai tarekat di samping tarekat Khalwatiyah (terutama Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah), dan memadukan berbagai unsur dari tarekat-tarekat tersebut menjadi cabang tarekat Khalwatiyah yang khas dan berdiri sendiri, yang disebut dengan tarekat Sammaniyah. Murid Indonesianya yang paling ternama adalah Syekh ‘Abd al-Shamad al-Falimbaniy, yang umumnya dianggap sebagai orang pertama yang membawa dan memperkenalkan tarekat Sammaniyah di Nusantara, terutama Sumatera dan daerah sekitarnya.

Di Indonesia tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan serta mempunyai pengaruh yang dalam di Palembang dan daerah lainnya di Sumatera. Demikian pula di Jakarta sangat besar pengaruhnya di kalangan penduduk dan daerah-daerah sekitar ibukota.9

Ciri-ciri tarekat ini menurut Abu Bakar Atjeh antara lain adalah zikirnya yang keras-keras dengan suara yang tinggi dari pengikutnya sewaktu melakukan zikir la ilaha illa Allah, di samping itu juga terkenal dengan ratib Samman yang hanya mempergunakan perkataan Hu, yaitu Dia Allah.10 Menurut Snouck Hurgronje, bahwa Syekh Samman disamping ada ratib Samman lebih populer lagi di Aceh dengan Hikayat Samman, ratib Samman inilah yang kemudian berubah menjadi suatu macam permainan rakyat yang terkenal dengan nama seudati (tarian).11 Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Syekh Samman antara lain adalah: memperbanyak shalat dan zikir, berlemahlembut kepada fakir miskin, jangan mencintai dunia, menukarkan akal basyariah dengan akal rabbaniyah, dan tauhid kepada Allah dalam zat, sifat dan af’al-Nya.12

Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar

Tesis kuat yang berkembang selama ini menyatakan bahwa tarekat Sammaniyah ini adalah tarekat pertama yang masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan. Asumsi ini diperkuat oleh tiga alasan penting.

Pertama, umumnya ratib yang dibaca dan diamalkan oleh masyarakat Islam Banjar dari dulu hingga sekarang lebih di dominasi oleh ratib Sammaniyah. Hal ini terbukti dari adanya empat jenis ratib yang umumnya diamalkan masyarakat Banjar yang selaras dengan ratib Samman. Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa ratib Samman tersebut sudah sangat populer dan diketahui oleh masyarakat luas.

Kedua, lebih daripada itu boleh jadi bahwa baratib baamal dan baratib bailmu melalui praktik wirid untuk memperoleh bekal ilmu guna menghadapi Belanda yang dilakukan oleh Penghulu Abdul Rasyid dan pengikutnya ketika terjadi pemberontakan pada bulan Oktober 1861 di Telaga Itar Kelua dan meluas ke daerah sekitarnya (Banua Lima) adalah ratib yang biasa dibaca dan diamalkan oleh para pengikut tarekat Sammaniyah, walaupun untuk itu belum ditemukan data-data yang akurat.

Ketiga, nilai dan ajaran tarekat Sammaniyah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perjuangan umat Islam di daerah ini ketika melawan penjajah Belanda,13 terutama kepada para peristiwa pertempuran di berbagai daerah se Banua Lima. Seperti pertempuran di Sungai Malang Amuntai, perlawanan di daerah Martapura, peristiwa Amuk Hantarukung di Kandangan yang dikomandoi oleh dua orang kakak beradik, Bukhari dan Santar adalah pengikut tarekat murid dari Gusti Muhammad Seman yang biasa melakukan zikir dan membaca wirid-wirid tertentu.14 Begitu juga dengan gerakan Datu Aling (di Muning Rantau) dan pengikutnya, bahkan para pahlawan perang Banjar seperti P. Antasari juga termotivasi oleh pengaruh ajaran tarekat. Karena itu adagium perjuangan dan ucapan haram manyarah, waja sampai kaputing, boleh jadi adalah manifestasi dari nilai-nilai ajaran tasawuf atau tarekat sammaniyah.

Sementara itu ulama yang dianggap cikal bakal dan berjasa besar membawa serta mengembangkan tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan menurut asumsi penulis ada tiga orang. Ulama yang pertama adalah Syekh Muhammad Arsyad bin ‘Abdullah al-Banjariy, dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, adanya kemiripan adab dan tatacara berzikir yang umumnya dilakukan oleh pengikut tarekat Sammaniyah dengan materi isi risalah Kanzul Ma’rifah yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy. Menurut Asywadie Syukur risalah Kanzul Ma’rifah tersebut memuat tentang tatacara zikir dan adab berzikir.15 Sebelum berzikir lebih dahulu bersuci dari najis dan hadas, mengucapkan istigfar, berpakaian yang berwarna putih, ditempat yang sunyi sepi, sebelumnya mengerjakan shalat sunnat dua rakaat. Duduk bersila, menghadap ke arah kiblat dan meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua lutut lalu mengucapkan dzikir yang berbunyi la ilaha illa Allah dengan menghadirkan maknanya dalam hati. Berikutnya kalau zikir dalam bentuk ini telah mantap beralih lagi kelafal lain dengan hanya menyebut Allah, Allah, Allah––dan seterusnya––dan zikir yang seperti ini dapat dilaksanakan disepanjang waktu dan keadaan sehingga pada setiap nafas yang ke luar diisi dengan zikir. Pada saat menyebut kata h­ pada setiap akhir kalimat tauhid, dipanjangkan sedikit sambil merasakan bahwa dirinya lenyap, begitu pula dengan ingatannya, selain kepada Allah (ma siwallah) dan kulliyah (jati dirinya) karena berada di dalam ke-esaan zat Allah yang nantinya akan memperoleh jazbah (tarikan) Allah. Inilah perolehan jiwa yang paling utama yang semuanya itu hasil kasyaf.

Risalah Kanzul Ma’rifah ini belum pernah dicetak dan dipublikasikan secara luas, hanya disalin oleh murid-muridnya yang terpercaya, salinan kitab ini juga pernah dihadiahkan kepada salah seorang sultan Aceh.16

Walaupun berdasarkan hasil penelitian dari beberapa orang ulama dinyatakan bahwa kitab Kanzul Ma’rifah tersebut lebih bercorak khalwatiyah dan tidak murni Sammaniyah seperti sekarang ini, maka hal inipun dapat dimaklumi. Sebab Syekh Samman sendiri mulanya dibaiat sebagai pengikut tarekat Khalwatiyah yang bercorak Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. Karena itu wajar jika kitab tulisan Syekh Muhammad Arsyad tersebut lebih mirip dengan ajaran tarekat Khalwatiyah dibanding tarekat Sammaniyah seperti sekarang, yang telah berdiri sendiri.

Kedua, kitab tasawuf Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy Kanzul Ma’rifah tersebut belum pernah dicetak dan tidak pernah dipublikasi secara luas, sehingga gambaran yang lengkap tentang konsepsinya di bidang tasawuf tidak diketahui secara pasti. Namun sebagaimana pengakuan dari Karel A. Steenbrink bisa diduga bahwa sebagai pembawa tarekat Sammaniyah, tasawufnya tidak akan jauh berbeda dengan yang diajarkan oleh temannya Abdussamad al-Falimbani, yang mengikuti paham tasawuf yang agak moderat menurut aliran al-Gazali.17

Ketiga, menurut Zafry Zamzam,18 Martin van Bruinessen,19 selama lebih kurang tigapuluh tahun belajar di Mekkah Syekh Muhammad Arsyad telah pula berguru ilmu tasawuf secara langsung kepada Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al-Madani dan mendapatkan ijazah khalifah dalam Tarekat Sammaniyah. Gelar ini merupakan bukti yang kuat, izin sekaligus pengakuan dari gurunya bahwa Syekh Muhammad Arsyad berhak untuk mengajarkan tarekat Sammaniyah, kemudian sebagaimana dinyatakan dalam Hikayat Syekh Muhammad Samman, Syekh Muhammad Arsyad disebutkan sebagai salah seorang muridnya. Dengan gelar itu pula secara moralitas Syekh Muhammad Arsyad dianggap orang yang paling bertanggungjawab terhadap keberadaan dan perkembangan tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar.

Keempat, apabila dilakukan penelusuran maka terlihat bahwa di antara ulama-ulama keturunan-keturunan dari syekh Muhammad Arsyad, adalah juga penganut tarekat Sammaniyah. Zuriat beliau yang sekarang aktif mengembangkan tarekat Sammaniyah adalah “Guru Sekumpul” (Syekh H.M. Zaini Abdul Ghani), yang belajar dari keturunan beliau yang lain, yakni “Guru Bangil” (al-Allamah K.H. Syarwani Abdan) hingga pada saat sekarang ini perkembangan tarekat Sammaniyah semakin luas.

Walaupun demikian, Martin van Bruinessen tetap meyakini bahwa keberadaan tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan adalah berkat perjuangan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari.20 Karena dalam karya-karya Syekh Muhammad Arsyad yang telah diterbitkan, tidak ada yang menyinggung dan mengisyaratkan secara khusus tentang tarekat Sammaniyah. Boleh jadi keyakinan Martin Van Bruinessen ini disebabkan karena ia belum pernah membaca risalah Kanzul Ma’rifah yang belum dicetak dan publikasinya terbatas sebagaimana dijelaskan di atas.

Ulama kedua sesudah Syekh Muhammad Arsyad yang berjasa dan dianggap sebagai pembawa tarekat Sammaniyah adalah Syekh Muhammad Nafis bin Idris al-Banjariy, sebagaimana keyakinan dan pengakuan Martin van Bruinessen di atas. Lebih jauh ada beberapa alasan signifikan mengapa Syekh Muhammad Nafis al-Banjari diasumsikan sebagai ulama kedua yang berjasa mengembangkan tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar.

Pertama, dalam bidang ilmu tasawuf dan tarekat ketika belajar di Mekkah, Syekh Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh ‘Abdullah ibn Hijaziy al-Syarqawiy al-Misriy, Syekh Shiddiq ibn ‘Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn ‘Abdul Karim Samman al-Madaniy, Syekh ‘Abdurrahman Ibn ‘Abdul ‘Aziz al-Maghribiy dan Syekh Muhammad Ibn Ahmad al-Jauhariy. Karena itu sebenarnya di bidang ilmu tasawuf dan tarekat menurut Ahmadi Isa, Syekh Muhammad Nafis seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy dan ‘Abdu¡¡amad al-Falimbaniy.21

Kedua, dalam kitab tasawufnya Al-Durr al-Nafis fi Bayan Wahdat al-Af’al wa al-Asma’ wa al-Shifat wa al-Zat, ªat al-Taqdis, yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf, dengan mengutamakan tauhidul sifat, zat dan af’al dan ditulisnya pada tahun 1200 H atau 1785 M ketika masih belajar di Mekkah, termaktub pengakuannya bahwa Syafi’i adalah mazhab fiqihnya, Asy’ari i’tiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan tasawufnya, Qadariyah tarekatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya.22

Ketiga, sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah, maka Syekh Muhammad Nafis pun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tarekat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid.23 Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh mengajarkan tasawuf dan tarekat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Durrun Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al-‘Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila Tariq al-Salamah al-Syaikh Muhammad Nafis Ibn Idris al-Banjariy.

Keempat, setelah kembali ke Banjarmasin pada tahun 1210 H/1795,24 pada masa kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M) Syekh Muhammad Nafis lebih mengarahkan dakwahnya ke daerah Kelua (Kabupaten Tabalong) dan sekitarnya yang masih kosong dan memerlukan pembinaan keagamaan. Mengapa Syekh Muhammad Nafis lebih mengarahkan perjuangan dakwahnya di daerah Kelua dan sekitarnya? Karena Kelua adalah daerah penting di pedalaman Kalimantan Selatan, jantung penyebaran Islam dan kunci masuk menuju daerah Kalimantan Timur, dan merupakan daerah kosong dari perjuangan dakwah. Di samping itu boleh jadi pula bahwa dijadikannya Kelua sebagai pusat gerakan dakwahnya, disebabkan oleh ketidaksenangan Muhammad Nafis terhadap Belanda yang waktu itu sudah mulai ikut campur dan menguasai pusat kerajaan Islam Banjar.25

Berkat perjuangan Syekh Muhammad Nafis, pada abad XVIII dan abad XIX daerah Kelua dikenal sebagai pusat penyiaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan dan memiliki andil dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai kepada masa perjuangan merebut kemerdekaan.26 Kemudian jika pada akhirnya Kelua melahirkan pejuang-pejuang Islam yang memiliki semangat tinggi untuk mengusir penjajah Belanda boleh jadi salah satu faktor pembangkitnya adalah melalui pendekatan tasawuf dan tarekat. Sehingga dalam sejarah pergerakan dan perjuangan umat Islam di Tanah Banjar, pemerintah Belanda pernah melarang beredar dan dipelajarinya kitab Durrun Nafis oleh masyarakat Banjar. Hal ini adalah salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja sampai kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir.

Sedangkan ulama ketiga yang juga penulis asumsikan sebagai pembawa tarekat Sammaniyah, atau paling tidak mempunyai andil terhadap perkembangannya di Tanah Banjar, terutama daerah Tanah Laut dan Kotabaru, Pagatan dan sekitarnya adalah Syekh Abdul Wahab Bugis. Walaupun data-data yang mengungkapkan tentang keberadaan dan peranan tokoh ini masih minim, namun ada beberapa alasan yang bisa dijadikan dalil kuat yang menunjukkan hal tersebut.

Pertama, Syekh Abdul Wahab Bugis adalah menantu dari Syekh Muhammad Arsyad, sehingga ketika ia menyelesaikan belajarnya di Mekkah dan bersama-sama pulang dengan teman-temannya yang disebut sebagai empat serangkai yakni ‘Abd al-Shamad al-Falimbaniy, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy serta Syekh Abdurrahman Mashri, ia tidak pulang ke daerah asalnya Bugis (Sulawesi Selatan), tetapi ikut Syekh Muhammad Arsyad ke Banjarmasin/Martapura.27 Karena itu rasional sekali jika dikatakan ia ikut membantu Syekh Muhammad Arsyad menyampaikan dakwah ke tengah masyarakat dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya selama di Mekkah.

Sementara, hasil perkawinannya dengan anak Syekh Muhammad Arsyad yang bernama Syarifah melahirkan dua orang anak, masing-masing bernama Fatimah dan Muhammad Yasin. Syekh Abdul Wahab Bugis baru pula ke kampung halamannya di Sidenring Pangkajene (Makasar) sesudah Syarifah wafat dan kedua anaknya sudah dewasa.28
Kesimpulannya, jika Syekh Abdul Wahab Bugis seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad dan pernah mengkaji tasawuf atau tarekat yang sama yakni Sammaniyah, maka tidak mustahil ketika ia berada di Martapura, iapun ikut menyebarkannya. Sebab tidak mungkin Syekh Abdul Wahab berdiam diri, tanpa mengamalkan ilmunya ke tengah-tengah masyarakat, sedangkan ia adalah ulama.

Kedua, menurut Martin van Bruinessen tokoh pertama yang membawa masuk tariqat Khalwatiyah-Sammaniyah di Sulawesi Selatan adalah Syekh Yusuf Makassar dan Syekh Yusuf Bogor.29 Informasi ini memberikan petunjuk bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis tidak pulang ke Sulawesi Selatan untuk menyebarkan ilmunya, sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Syekh Abdus Samad al- Falimbani dan dianggap sebagai pembawa pertama tarekat Sammaniyah di daerahnya Sumatera (Palembang dan sekitarnya). Karenanya petunjuk ini menguatkan kembali asumsi bahwa ia lebih banyak mengamalkan ilmunya di Kalimantan Selatan, walaupun data yang merujuk ke sana masih sedikit. Karenanya untuk lebih mengetahui tentang sejarah hidup dan keberadaan tokoh ini perlu penelitian yang lebih mendalam.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa perkembangan tasawuf terutama tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar memiliki akar sejarah yang cukup panjang dan telah menjadi bagian hidup dari masyarakat Banjar itu sendiri. Karenanya mulai dari masuknya Islam ke wilayah Banjar, sampai masa perjuangan fisik hingga pembangunan sekarang diyakini bahwa tasawuf dan tarekat tetap eksis dan survive dalam menjaga kerohanian masyarakat.

Di samping itu hal yang lebih penting dan menarik lagi untuk menjadi bahan renungan adalah bahwa informasi yang berkembang dan data sejarah yang berserakan tentang keberadaan atau jejak sejarah perkembangan tasawuf atau tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan pada masyarakat Banjar khususnya perlu untuk dikaji dan diteliti kembali secara lebih mendalam dan komprehensif. Sehingga informasi, dan data-data yang mengetengahkan tentang keberadaan dan sejarah perkembangan tarekat ini menjadi lebih jelas dan valid untuk mernjadi pengetahuan dan warisan ilmu kepada generasi mendatang.

Catatan

5Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara, 1981, h.258.
6Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1979, h.47.
7Usman Said, Op.cit., h.258.
8Sjechul Hadi Permono, “Kedudukan Tarekat dalam Syariat Islam”, dalam Majalah Nahdlatul Ulama Aula, Nomor 10 Tahun XIII Oktober 1991, h.32.
9Usman Said, Op.cit., h.286.
10Abu Bakar Atjeh, Op.cit., h.340.
11C. Snouck Hurgronje, dalam Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara, 1981, h.286.
12Abu Bakar Atjeh, Op.cit., h.339.
13Wahyudin, “Peran Ajaran Tarekat Sammaniyah dalam Gerakan Perjuangan Melawan Penjajahan di Kal-Sel”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 11 Oktober 2002, LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin, h.6.
14Yusliani Noor, “Sejarah Perjuangan Umat Islam Kalimantan Selatan dari Pasca Kesultanan Banjar Hingga Zaman Reformasi Indonesia Tahun 1998”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 10 Oktober 2001, PPIK IAIN Antasari Banjarmasin, h.7. (lihat pula Sjamsuddin, Helius, Islam dan Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Tengah pada Abad 19 dan Awal Abad 20, Pusat Studi dan Pengembangan Borneo, Yogyakarta, 2000, h.11-12.
15M. Asywadie Syukur Syukur, “Perkembangan Ilmu Keislaman di Kalimantan”, Makalah Seminar, disampaikan pada seminar On Islamic references in the Malay World di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, tanggal 2-6 Agustus 2001, h.23.
16Zafry Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy sebagai Ulama Juru Dakwah dalam Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad ke-13H/18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara, Karya, Banjarmasin, 1974, h.12. (lihat Idwar Saleh, Sejarah Bandjarmasin, KPPK. Balai Pendidikan Guru, Bandung, 1958).
17Karel S. Streenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1989, h.96.
18Zafry Zamzam, Op.cit., h.6 dan 12.
19Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999, h.66.
20Ibid.
21Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, h.28 (lihat pula Zafri Zamzam, Op.cit., h.6 dan 13.
22M. Laily Mansyur, Kitab ad-Durrun Nafis Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf, Hasanu, Banjarmasin, t.th. h.2.
23Abdullah Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Al Ikhlas, Surabaya, t.th., h.109 (lihat pula Ahmadi Isa, Op.cit., h.29).
24Ahmadi Isa, “Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dan Kitabnya al-Durr al-Nafis”, Makalah Seminar, Disajikan pada diskusi keislaman oleh LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin Post, tanggal 24 Juli 2000.
25Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Indonesia, Ihktiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1988, h.615-616.
26Ibid.
27Zafry Zamzam, Op.cit., h.7.
28Ibid., h.14.
29Martin van Bruinessen, Op.cit., h.286

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Al Ikhlas, Surabaya, t.th.
Atjeh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1979.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Indonesia, Ihktiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1988.
Haderani. HN, Durrun Nafis Permata yang Indah, Al Ikhlas, Surabaya, 1999.
Hurgronje, C. Snouck, Islam di Hindia Belanda, terjemahan. S. Gunawan, Bhratara, Jakarta, 1973.
Isa, Ahmadi, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001.
__________, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dan Kitabnya al-Durr al-Nafis, makalah disajikan pada diskusi keislaman oleh LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin Post, tanggal 24 Juli 2000.
Mansyur, M. Laily, Kitab ad-Durrun Nafis Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf, Hasanu, Banjarmasin, t.th.
Maskuri, M. Ilham, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dalam Perkembangan Islam di Kalimantan Selatan (Tinjauan Sejarah Pembaharuan Wacana Relegio-Intelektual), makalah disajikan pada diskusi keislaman oleh LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin Post, tanggal 24 Juli 2000.
Permono, Sjechul Hadi, Kedudukan Tarekat dalam Syariat Islam, dalam Majalah Nahdlatul Ulama Aula, Nomor 10 Tahun XIII Oktober 1991.
Said, Usman, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara, 1981.
Saleh, M. Idwar, Sejarah Bandjarmasin, KPPK. Balai Pendidikan Guru, Bandung, 1958.
Sjamsuddin, Helius, Islam dan Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Tengah pada Abad 19 dan Awal Abad 20, Pusat Studi dan Pengembangan Borneo, Yogyakarta, 2000.
Streenbrink, Karel S., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1989.
Syukur, M. Asywadie, “Perkembangan Ilmu Keislaman di Kalimantan, makalah disampaikan pada seminar On Islamic references in the Malay World”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 2-6 Agustus 2001, Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam.
Wahyudin, “Peran Ajaran Tarekat Sammaniyah dalam Gerakan Perjuangan Melawan Penjajahan di Kal-Sel”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 11 Oktober 2002, Banjarmasin, LK3 dan Serambi Ummah. Banjarmasin Post.
Yusliani Noor, “Sejarah Perjuangan Umat Islam Kalimantan Selatan dari Pasca Kesultanan Banjar Hingga Zaman Reformasi Indonesia Tahun 1998”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 10 Oktober 2001, Banjarmasin, PPIK IAIN Antasari.
Zamzam, Zafry, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy sebagai Ulama Juru Dakwah dalam Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad ke-13H/18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara, Percetakan Karya, Banjarmasin, 1974.


Hakikat tarekat naqsybandi haqqani













“al-Hujjah al-Sathi’ah fi Bayan al-Thariqah
al-Naqsyabandiyyah al-Haqqaniyyah”

(Argumentasi Cemerlang
dalam Menyingkap Hakikat
Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah yang benderang)

Oleh: H. Abbas Arfan Baraja, Lc., M.H.[1]

A. Islam dan Sufisme
Pengertian Sufisme.
Tasawuf atau Sufisme adalah satu cabang keilmuan dalam Islam atau secara keilmuan ia adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir kemudian setelah Rasulullah wafat.. Menurut Hakim Hassan dalam al-Tasawwuf fi Syi’ri al-’Arab, istilah tasawuf baru terdengar pada pertengahan abad kedua hijriyah dan menurut Nicholson dalam bukunya al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhihi, pertengahan abad ketiga hijriyah.[2]

Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab, Tasawwafa. Namun para ulama berbeda pendapat dari mana asal usulnya (akar katanya). Ada yang mengatakan dari kata “Shuf’ (bulu domba), “Shaf’ (barisan), “Shafi/Shofa” (jernih) dan dari kata “Shuffah” (emper Masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian shahabat Nabi saw.). Pemikiran masing-masing pihak itu
dilatarbelakangi obsesinya dan fenomena yang ada pada diri para sufi.[3]
Dan Imam al-Qusyairi[4] dalam hal ini memberikan komentarnya yang dinukil Shodiq bin Hasan al-Qonuji dalam kitabnya “Abjad al-Ulum al-Wasyi al-Marqum fi Bayani ahwal al-Ulum” sebagai berikut:
وقال القشيري - رحمه الله - : ولا يشهد لهذا الاسم اشتقاق من جهة العربية ولا قياس والظاهر إنه لقب ومن قال : اشتقاقه من الصفا أو من الصفة فبعيد من جهة القياس اللغوي قال : وكذلك من الصوف لأنهم لم يختصوا بلبسه قلت : والأظهر إن قيل : بالاشتقاق أنه من الصوف وهم في الغالب مختصون بلبسه لما كانوا عليه من مخالفة الناس في لبس فاخر الثياب إلى لبس الصوف فلما اختص هؤلاء بمذهب الزهد والانفراد عن الخلق والإقبال على العبادة اختصوا بمآخذ مدركة لهم.[5]

“Imam al-Qusyairi RA berkata: Tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa kata benda ini ( tasawwuf) adalah berakar kata dari bahasa arab juga tidak dianalogikan dari bahasa arab. Secara lahiriyah itu hanya laqab (julukan) saja, adapun pendapat yang mengatakan bahwa kata (tasawwuf) itu berasal dari kata shofa atau shuffah adalah sangatlah jauh dari sudut pandangan qiyas (analogi) ilmu bahasa, begitu juga orang yang berpendapat bahwa itu berasal dari kata Shuf adalah tidak berdasar, karena mereka para sufi tidak mengkhususkan harus memkai pakaian dari shuf (bulu domba). Walau memang mereka pada umumnya memakai pakaian dari wol itu karena mereka ingin memakai pakaian yang yang tidak menunjukan kebanggaan atau kemewahan seperti umumnya orang-orang, lantas mereka yang sebagai besar memakai pakaian sedarhana itu (bahkan rendah dan hina pada masa itu) terkenal dengan sifat zuhud, uzlah (mengasingkan diri) dari keramaian dan memfokuskan diri pada beribadah, maka orang-orang menjuluki mereka dengan istilah sufi (sebagai identitas) yang mudah dari apa yang orang-orang ketahuai.”

Secara terminologispun banyak dijumpai definisi yang berbeda-beda, yang oleh Syekh Yusuf al-Rifa’i[6] dianalisa mencapai lebih kurang dua ribu definisi[7] dan yang paling simpel menurutnya adalah definisi tasawuf yang dibuat oleh Ibn ‘Ajibah[8], yaitu:
صدق التوجه الى الله بما يرضاه و من حيث يرضاه
“Kesungguhan tawajjuh (ibadah) kepada Allah dengan melaksanakan apa-apa yang diridloi-Nya sesuai dengan apa yang diridloi-Nya (diingini-Nya)”

Al-Qonuji mendefinisikan tasawuf dengan;
علم يعرف به كيفية ترقي أهل الكمال من النوع الإنساني في مدارج سعادتهم والأمور العارضة لهم في درجاتهم بقدر الطاقة البشرية [9]

“Sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana meningkatkan derajat kesempurnaan sebagai manusia dalam tingkatan-tingkatan kebahagiaan dan persoalan-persoalan yang menghadang (ujian) dalam upaya meningkatan derajat tersebut sesuai dengan kemampuan manusia.”

Dari sekian definisi yang ada dapat dikatakan, bahwa tasawuf adalah moralitas Islam yang pembinaannya melalui proses tertentu (mujahadah dan riyadlah) dengan tetap berpegang teguh pada syariat Islam.

2. Kedudukan Tasawuf dalam Ajaran Islam.
Dan sufisme adalah bagian dari syari’ah Islamiyah, yakni wujud dari Ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam. Dua sebelumnya ialah Iman dan Islam. Oleh karena itu perilaku sufi harus tetap berada dalam kerangka syari’ah Islam. al-Qusyairi mengatakan: “Seandainya kamu melihat seseorang yang diberi kemampuan khusus (keramat), sehingga ia bisa terbang di angkasa, maka jangan terburu tergiur padanya, sehingga kamu melihat bagaimana dia menjalankan perintah, meninggalkan larangan menjaga hukum yang ada.”[10]
Sebagaimana dikatakan bahwa tasawuf adalah identik dengan Ihsan. Dalam hadits Nabi SAW dalam Sahih Muslim, Hadits No. 09;[11] arti ihsan ialah:
أن تعبد الله كأنك تراه فإنك إن لا تراه فإنه يراك
“Beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, jika kalian tidak bisa melihat-Nya, maka harus diketahui bahwa Dia melihat kita”.

Pernyataan ini mengandung makna ibadah dengan penuh ikhlas dan khusyu’, penuh ketundukan dengan cara yang baik.[12] Namun dalam pandangan penulis Hadits di atas mengindikasikan ada dua maqam (tingkatan) dalam beribadah, yaitu: pertama, maqam musyahadah; mampu melihat Allah dengan mata hati atau ilmu pengetahuan yang dimiliki. Kedua, maqam muraqabah; mampu menghadirkan Allah dalam kesehariannya, sehingga memunculkan rasa diawasi Allah. Kedua maqam itu sama-sama akan memberikan dampak khusu’ dalam beribadah. Dan ilmu tasawuf berusaha mencapai kedua maqam itu dan maqam-maqam yang lain.

Ihsan meliputi semua tingkah laku muslim, baik tindakan lahir maupun tindakan batin, dalam ibadah maupun muamalah, sebab ihsan adalah jiwa atau roh dari iman dan islam. Iman sebagai pondasi yang ada pada jiwa seseorang dari hasil perpaduan antara ilmu dan keyakinan, penjelmaannya yang berupa tindakan badaniah (ibadah lahiriah) disebut Islam. Perpaduan antara iman dan islam pada diri seseorang akan menjelma dalam pribadi dalam bentuk akhlak al-karimah atau disebut ihsan[13] sebagaimana tersebut dalam surat Luqman/31: 22.
Oleh karena itu, maka kedudukan tasawuf dalam ajaran Islam adalah sebuah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam itu sendiri. Karena memang dasar rujukan dalam tasawuf adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan al-Atsar (peninggalan) para ulama terpercaya.[14] Maka dalam keyakinan ini pula, Imam al-Syatibi dalam kitabnya al-I’tisham membela mati-matian tasawuf dan para sufi dari tuduhan orang-orang yang menuduhnya sebagai ilmu yang keluar dari syariat Islam dan membersihkan para sufi dari julukan sebagai ahli bid’ah, bahkan beliau sebaliknya menjuluki orang yang menolak tasawuf dan para sufi sebagai orang bodoh yang ahli bid’ah. Dan beliau menegaskan bahwa para sufi adalah orang selalu menimbang awal perbuatan dan perkataannya dengan itba’ sunnah Nabi dan menjauhi segala yang dilarang dan bertentangan dengan sunnah Nabi.[15]

Dukungan dan pembelaan terhadap tasawuf dan sufi tidak hanya datang dari Imam Syatibi sendirian, namum hampir sebagian besar ulama tradisional dan modern pun turut memperkuat barisan ini, seperti dituliskan Syekh Yusuf al-Rifa’i dalam bukunya bahwa diantara ulama-ulama tradisional (salaf) yang mendukung tasawuf dan para sufi adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abdul Qahir al-Bagdadi, Imam Ghazali, Imam al-Razi, Imam Izzuddin Abd. Salam, Imam Nawawi, Imam Taj al-Din al-Subki, Imam Suyuthi dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan ulama kontemporer, Syekh Yusuf al-Rifa’i mencantumkan fatwa-fatwa mufti timur tengah, yaitu: Syekh Muhammad al-Sayid al-Thanthawi (Syekh al-Azhar yang mantan mufti Mesir), Syekh Ahmad Kaftar (Mufti Suriah), Syekh Muhammad bin Ahmad Hasan al-Khozrazi (mantan menteri wakaf dan urusan Islam Uni Emirat Arab), Syekh Nuh Salman (Mufti militer Yordania), Stekh Hasan Kholid (Mufti Lebanon) dan Syekh al-Sayid Muhammad Abd. Rahman bin Syekh Abu Bakar bin Salim (Mufti Juzur Qamar).[16]
Oleh karenanya, apabila tasawuf diperbandingkan dengan teologi, maka kedua-duanya mempunyai kesamaan tujuan, yakni ma’rifatullah (mengenal Allah), hanya saja berbeda dalam yang ditempuh. Teologi melalui pembuktian yang dapat diterima rasio, sedang tasawuf secara langsung dengan mata hati. Teologi mengkonstruksikan dan memahami keyakinan melalui rasio, sedang tasawuf berusaha merasakan keyakinan itu dengan Qalb (hati nurani). Adapun perbandingan dengan ilmu fiqh, kedua-duanya sama-sama membicarakan bagaimana berkomunikasi dengan Allah SWT. hanya bedanya, fiqh lebih menitikberatkan pada lahiriah sedang tasawuf pada batiniyah. Fiqh memakai pendekatan legal formal, sedang tasawuf berbicara pada hakikat sesuatu dan memberi makna terhadap perilaku lahir itu dengan ikhlas dan menghindarkan diri dari sifat-sifat tercela. Meskipun demikian, secara keilmuan ketiganya dapat dibedakan dalam aspek metode, obyek dan tujuan, namun secara ideal ketiganya menyatu dalam pribadi secara utuh. Sehingga dapat diwujudkan akidahnya benar, ibadahnya benar serta dapat terselamatkan dari sifat-sifat tercela dan berhias dengan sifat-sifat terpuji.[17]

AI-Hujwiri menyatakan. bahwa sufi adalah sebuah nama yang diberikan kepada wali-wali dan ahli-ahli kerohanian yang sempurna. Pengikut sufi ada tiga derajat, yaitu sufi, mutasawwif dan mustaswif. Sufi adalah yang mati pada dirinya dan hidup oleh Kebenaran: ia bebas dari batas-batas kemampuan manusiawi dan benar-benar telah sampai kepada Tuhan. Dan Mutasawwif adalah orang yang berusaha keras untuk mencapai tingkatan ini dengan cara menundukkan hati dan hawa nafsu (mujahadah) dan dalam pencariannya ia meluruskan tingkah lakunya sesuai dengan teladan mereka (para sufi). Sedanggkan Mustaswif adalah orang yang membuat dirinya secara lahiriah serupa dengan mereka (sufi-sufi) untuk sekedar mencari uang, kekayaan, kekuasaan serta keuntungan-keuntungan duniawi, tapi sedikitpun tidak mempunyai pengetahuan tentang kedua hal ini (kesufian dan tasawuf). Kaum sufi yang beutujuan mencari Tuhan menyebut dirinya sebagai pengembara (salik) la meningkat secara perlahan melalui tahap-tahap (maqomat) setelah melalui sejumlah lintasan (thuruqot) guna mencapai tujuan bersatu dengan kenyataan (al-Haqq).[18]

Namun dalam pandangan penulis, istilah sufi dan mutaswwif adalah sama. Karena sama-sama orang yang sedang salik/berjalan menuju Allah SWT dengan melakukan mujahadah lahir dan batin dalam mendapatkan posisi yang dekat dengan Allah SWT. Dan dalam literatur klasik tidak ditemukan perbedaan antara dua istilah di atas, baru kemudian pada literatur modern ada upaya penjelas atau pembeda dengan munculnya tiga istilah di atas. Walau pada hakikatnya kita sulit membuktikan bahwa seseorang yang nyamar sebagai seorang sufi atau mutasawwif yang di sebut mustaswif itu bisa kita tuduhkan pada seseorang yang secara lahiriah seakan-akan ia mengeruk keuntungan duniawi dengan baju sufi, karena kita hanya bisa melihat secara lahiriyah dan batiniah seseorang kita tidak tahu.
Tasawuf atau sufisme adalah salah satu dari jalan yang diletakkan oleh Tuhan untuk menunjukkan kehidupan rohani sesuai dengan ajaran AI-Qur’an. Tasawuf menarik kembali manusia dari keadaan assfala safilin yang hina dalam rangka mengembalikannya ke dalam kesempurnaan.. Jalan mistik, sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf, adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan nafsunva dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanva mengalami persatuan dengan Yang Benar (al-Haqq). Ajaran-ajaran sufi berkisar di sekitar dua ajaran dasar; tentang kesatuan transenden wujud dan manusia universal atau manusia sempurna. Menjadi seorang wali dalam Islam adalah dengan melaksanakan semua kemunginan dari keadaan manusia menjadi insan kamil. [19]

3. Sejarah Munculnya Tasawuf dan Sufi.
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa menurut sebagain besar ahli sejarah mengatakan bahwa pada pertengahan abad kedua atau dipenghujung abad kedua adalah masa di mana munculnya istilah tasawuf dan sufi, walau hakikatnya secara praktis dan realita lapangan prilaku yang mencerminkan kesufian, -seperti ketawakalan, kesabaran dan rajin beribadah bahkan cenderung tajarrud/tajrid[20] (totalitas) dalam beribadah sehingga terkesan mengenyampingkan mutasabbib/kasab (bekerja) untuk kehidupan dunia- itu sudah ada sejak era sahabat yang hidup bersama Rasul SAW.
Mereka adalah adalah sahabat Nabi SAW yang tinggal dan hidup di emper masjid Nabawi yang populer di kenal sebagai Ahl Suffah. Dan Nabi SAW men-taqrir (mendiamkan tanda setuju) apa yang dilakukan Ahl Suffah yang tajrid dalam ibadah dan tidak mutasabbib (tidak bekerja). Hal itu dikarenakan Nabi SAW melihat mereka kuat dan bisa mengambil manafaat dari ke-tajridan tersebut. Di samping Nabi SAW pun men-taqrir prilaku sebagian sahabat yang lain yang tidak tajrid tapi mutasabbib dalam mencari rizqi Allah SWT, karena memang Nabi SAW melihat hal itu lebih cocok bagi jenis sahabat yang tidak tinggal di emper masjid.[21]

Senada dengan hal tersebut di atas, al-Qonuji menukil pendapatnya Imam al-Qusyairi bahwa hakikatnya tasuwuf dan sufi sudah lahir sejak lahirnya Islam itu sendiri, namun orang yang hidup pada generasi pertama bersama Nabi SAW tidak disebut kaum sufi, tapi sahabat Nabi SAW, karena tidak ada julukan yang paling pas dan mulia bagi mereka selain sebutan sahabat Nabi SAW. Begitupun bagi generasi kedua yang di kenal dengan nama tabi’in. Inilah perkataan Imam Qusyairi yang dinukil al-Qonuji dalam bukunya;
قال القشيري : اعلموا أن المسلمين بعد رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لم يتسم أفاضلهم في عصرهم بتسمية علىما سوى صحبة الرسول - صلى الله عليه وسلم - إذ لا أفضلية فوقها فقيل لهم الصحابة. ولما أدركهم أهل العصر الثاني سمي من صحب الصحابة : بالتابعين . ثم اختلف الناس وتباينت المراتب . فقيل لخواص الناس ممن لهم شدة عناية بأمر الدين : الزهاد والعباد. ثم ظهرت البدعة وحصل التداعي بين الفرق فكل فريق ادعوا أن فيهم زهادا فانفرد خواص أهل السنة المراعون أنفسهم مع الله - سبحانه وتعالى - الحافظون قلوبهم عن طوارق الغفلة باسم التصوف . واشتهر هذا الاسم لهؤلاء الأكابر قبل المائتين من الهجرة . انتهى [22]

“ Imam al-Qusyari berkata: “Ketahuilah bahwa kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW tidak dijuluki dengan julukan yang mencerminkan keutamaan mereka pada masa itu dengan nama selain nama para sahabat Nabi SAW, karena tidak ada nama yang lebih utama dan mulia selain nama tersebut. Begitu juga bagi generasi kedua, yaitu orang-orang yang belajar dan hidup bersama para sahabat tidak dinamai selain nam tabi’in. Namun pada generasi berikutnya (ketiga) saat kaum muslimin sudah berbeda-beda (kekutan iman dan ibadahnya), maka orang yang khusus yang teguh memegang dan mengamalkan agamanya dikenal dengan sebutan zuhhad (jamaknya zahid; orang yang zuhud) dan Ubbad (jamaknya abid; orang yang ahli ibadah). Kemudian bid’ah meluas di mana-mana dan saling membanggakan golongannya masing-masing; setiap kelompok mengklaim bahwa mereka memilki orang-orang zahid dan abid. Oleh sebab itu sebagian orang khusus (zahid atau abid) dari golongan ahlus sunnah wal jama’ah yang hanya mencari ridlo Allah SWT dan selalu menjaga hatinya dari bisikan-bisikan yang melalaikan Allah SWT, maka mereka inilah yang disebut kaum sufi yang mengamalkan ilmu tasawuf sehingga nama ini mulai terkenal dan melekat pada tokoh-tokoh sufi sejak sebelum abad kedua Hijriah.”

Imam Ibn Kholdun[23] pun berpendapat sama dengan Imam al-Qusyairi; yang pendapat beliau dinukil al-Qonuji dalam kitabnya:
قال عبد الرحمن بن خلدون : هذا العلم من العلوم الشرعية الحادثة في الملة وأصله : أن طريقة هؤلاء القوم لم تزل عند سلف الأمة وكبارها من الصحابة والتابعين. [24]

“Abdurahman bin Kholdun berkata: “Ilmu (tasawuf) ini termasuk bagian dari ilmu syariat yang baru lahir dalam Islam (baru dalam pengertian menjadi sebuah ilmu yang teoritis dan independen-penulis). Dan pondasi yang membentuknya adalah mereka (para sufi) adalah orang-orang yang berpegang ada prilaku tokoh-tokoh umat Islam, yaitu para sahabat dan tabi’in.”

Memang mengenai asal-usul atau timbulnya sufisme dalam Islam. terdapat berbagai teori yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan pengaruh ajaran Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Atau ajaran filsafat mistik Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi juga dipandang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Demikian pula filsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan, dan karena pengaruh dunia materi roh menjadi kotor, dan untuk dapat kembali ke alam asalnya roh terlebih dahulu harus dibersihkan dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kafau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan, filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum wihdah al-wujud (manunggaling kawula-Gusti) dan sufi dalam Islam. Bahkan ajaran Buddha dengan faham nirwananya dan ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Tan Brahman juga dianggap berpengaruh terhadap sufisme Islam. Namun penelitian modern telah membuktikan bahwa asal-usul sufisme tidak dapat dilacak hanya melalui satu lintasan tunggal saja. Sufisme adalah sesuatu yang rumit, tak ada jawaban yang bersahaja. Ada pengaruh-pengaruh non Islami, Nasrani, Neoplatonisme, Gynostisisme dan Buddhisme dan pengaruh eksternal itu bisa saja terjadi. tetapi laku tasawuf itu sebenarnya telah inheren dalam ajaran Islam. Dalam Al Qur’an Tuhan menerangkan diri-Nya sebagai al-Dzahir (Lahir) dan yang al-Bathin (Batin). Karena itu. semua realitas dari dunia ini juga memilki aspek lahir (eksoteris) dan batin (esoteris). Dalam Islam dimensi batin atau esoteris dari wahyu ini sebagian besar berhubungan dengan tasawuf.[25]
Maka dari sudut pandang Islam; Tasawuf seperti al-din atau al-Islam dalam pengertiannya yang universal adalah abadi dan sekaligus universal. Hal ini tidak berarti bahwa adalah mungkin melaksanakan tasawuf di luar kerangka Islam. Tasawuf yang bisa dilaksanakan secara sah harus merupakan sesuatu yang bersumber dari wahyu AI-Qur’an. Seseorang tidak dapat melaksanakan esoterisme Buddha dalam konteks syariat Islam atau sebaliknya.[26] Dan kalau ada persamaan antara ajaran tasawuf dengan ajaran agama lain; baik dengan ajaran agama samawi (seperti, Yahudi dan Kristen) atau non samawi (seperti, Hindu dan Budha) itu adalah sesuatu hal yang tidak mustahil terjadi. Ajaran Islam saja dengan ajaran samawi lainnya bukankah memilki kesamaan sumber, yaitu sama-sama bersumber dari Allah SWT, bukankah ibadah dalam Islam seperti khitan, kurban, haji, puasa dan lain-lain adalah warisan dari ibadah umat terdahulu. Adapun adanya persamaan ajaran tasawuf dengan ajaran agama non samawi itu adalah sebuah kebetulan saja; bukankah cara berpakaian para biksu agama Budha sama persis dengan orang yang sedang berpakaian kain ihram untuk ibadah haji atau umrah, yaitu sama-sama dari dua helai kain tidak berjait dan sama-sama membuka lengan kanan dalam memakainya, walau ada perbedaan tapi dari warna kainnya saja. Lalu apakah langsung kita katakan bahwa haji dan umrah adalah dipengaruhi ajaran Budha?
Lalu siapakah yang di maksud para sufi atau mutasawwif pada zaman sekarang ini? Ada analisa dan ungkapan menarik dan sederhana yang disampaikan Syekh Yusuf al-Rifai dalam bukunya ketika mendiskripsikan siapakah yang bisa di sebut sufi pada masa ini. Beliau menulis dalam pengantar bukunya al-Sufiyah wa al-Tasawwuf fi Dlau al-Kitab wa al-Sunnah sebagai berikut;

“Julukan sufi, jika dimutlakkan pada zaman sekarang ini, maka yang dimaksud adalah mayoritas kaum muslimin yang bertaqlid pada salah satu Imam empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dalam masalah al-Furu’ (mazhab fiqh) dan secara ushul (aqidah) mengikuti pada salah satu dari beberapa ulama salaf yang salih, maka sebagian mereka berpegang teguh pada prinsip teologi Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang menjadi pegangan hampir sebagian besar golongan ahlus sunnah wal jama’ah di hampir seluruh penjuru dunia. Prinsip ajaran mazhab ahlus sunnah wal jama’ah ini (yang bermazhab fiqh pada salah satu Imam empat mazhab dan berteologi dengan teologi Asy’ariyyah) adalah ajaran yang sampai sekarang di ajarkan dan dipraktekkan di hampir sebagian besar negara Islam, seperti Universitas al-Azhar Mesir, kecuali lembaga-lembaga pendidikan Islam di negara Saudi Arabia atau negara lain yang dalam naungan dan bantuan saudi Arabia yang berpegangan pada prinsip ajaran Islam yang digagas oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya (Wahhabiyyah) yang menamakan diri dengan nama “al-Da’wah al-Salafiyyyah”. Identitas sufi atau sufiyyah pada zaman ini juga identik dengan kaum muslimin yang merayakan peringatan-peringatan hari besar Islam bahkan menjadi hari libur nasional, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ mi’raj dan lain-lain. Di samping itu mereka tetap menjaga tradisi ziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW setelah atau sebelum ibadah haji, mengkhatamkan al-Qur’an saat ada kematian, menggunakan hitungan tasbih dalam berzikir pada Allah (atau bershalawat pada Nabi SAW), mentalqin mayit (saat naza’ dan baru selesai dikuburkan), berziarah kubur (pada orang tua, kerabat dan sesama muslim) saat hari raya atau momentum lainnya untuk menganbil pelajaran kematian (kesadaran akan tibanya ajal) dan menghadiahkan pahala baca al-Qur’an (atau tahlil, tasbih, takbir, shalawat dan lainnya) pada arwah-arwah mereka dan masih banyak lagi prilaku-prilaku keagamaan yang telah membudaya dan mentradisi di tengah masyarakat Islam sejak jaman lampau (sebelum munculnya wahabiyyah dan tidak ada penolakan dari ulama-ulama besar saat itu dan hal ini terus bertahan sampai sekarang walau mendapat rongrongan dan penolakan kaum wahabiyyah). Walhasil tradisi sufi ini adalah tradisi mayoritas umat Islam (maka hakikatnya mayoritas umat Islam adalah para sufi) dan mayoritas umat Islam ini dalam Hadits Nabi SAW disebut dengan al-Sawad al-A’adlom. Dan Nabi SAW memerintahkan umatnya untuk tetap berada pada barisan al-Sawad al-A’adlam: “Alaikum bi al-Sawad al-A’adlom!”[27]

B. Sufisme dan Gerakan Tarekat
1. Pengertian Tarekat
Kata Tarekat di ambil dari bahasa arab, yaitu dari kata benda thoriqoh yang secara etimologis berarti jalan, metode atau tata cara. Adapun tarekat dalam terminologis (pengertian) ulama sufi; yang dalam hal ini akan saya ambil definisi tarekat menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi al-Naqsyabandi[28] dalam kitab Tanwir al-Qulub-nya[29] adalah;

”Tarekat adalah beramal dengan syariat dengan mengambil/memilih yang azimah (berat) daripada yang rukhshoh (ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia; melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah; yang semuamnya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru/syekh/mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh/Mursyid).”[30]

Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat adalah beramal dengan syariat Islam secara azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan, seperti rokok ada yang berpendapat haram dan makruh, maka lebih memilih yang haram) dengan mengerjakan semua perintah baik yang wajib atau sunah; meninggalkan larangan baik yang haram atau makruh bahkan menjauhi hal-hal yang mubah (boleh secara syariat) yang sia-sia (tidak bernilai manfaat; minimal manfaat duniawiah) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah), maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam tarekat tidak hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT.
Dengan bahasa yang lebih mudah, tarekat adalah sebuah kendaraan baik berupa bis, kapal laut atau pesawat terbang yang disopiri oleh seseorang yang telah punya izin mengemudi dan berpengalaman untuk membawa kendaraannya dengan beberapa penumpang di dalamnya untuk mencapai tujuan.
Tasawuf dapat dipraktekkan dalam setiap keadaaan di mana manusia menemukan dirinya, dalam kehidupan tradisional maupun modern. Tarekat adalah salah satu wujud nyata dari tasawuf. Ia lebih bercorak tuntunan hidup praktis sehari-hari daripada corak konseptual yang filosofis. Jika salah satu tujuan tasawuf adalah al-Wushul ila Allah SWT (sampai kepada Allah) dalam arti ma’rifat, maka tarekat adalah metode, cara atau jalan yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan tasawuf tersebut. [31]
Tarekat berarti jalan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri, atau perjalanan yana ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau Syaikh. Syaikh atau mursyid inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah serta rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi perantara (washilah) antara murid dan Tuhan dalam beribadah. Karena itu, seorang Syaikh haruslah sempurna dalam ilmu syariat dan hakekat. Di samping itu, untuk (dapat) wenjadi guru, ustadz atau Syaikh diperlukan syarat-syarat tertentu yang mencerminkan sikap orang tua yang berpribadi akhlak karimah dan budi pekerti yang luhur.[32]